Sebuah
slogan umum yang populer di negri ini berkaitan dengan aturan adalah “ Aturan dibuat untuk dilanggar”. Apakah slogan
ini hanya lelucon atau serius, tapi nampaknya slogan itu begitu populer dan
bahkan tak heran karena kepopuleranya, slogan ini menjadi realitas dalam kehidupan.
Entah apakah ini sebuah kecerdasan dalam mengasumsikan sebuah peraturan
sehingga menjadi anekdot yang menciderai makna sesungguhnya atau sebuah
kepicikan pola pikir yang ahirnya menjadikan sebuah budaya.
Sejatinya
aturan dibuat untuk dipatuhi, karena memang aturan dibuat agar terjadi
keteraturan. Ketika aturan tersebut dilanggar, pasti ada konsekuensi logis yang
terjadi. Sebuah aturan lalu lintas saja yang sederhana, jikalau tidak dipatuhi
maka akan terjadi kemacetan dimana-mana, kecelakan lalu lintas dan
kehingar-bingaran dampak yang terjadi karena pelanggaran lalu lintas. Untuk masalah
remeh temeh seperti ini pun begitu minimnya kesadaran untuk mematuhinya. Bagaimana
jikalau peraturan yang lebih penting itu ahirnya banyak yang terlanggar. Menyalakan
handphone di pesawat, menerobos lampu lalu lintas, tidak ber helm dalam
mengendarai kendaraan roda dua, merupakan sebuah pelanggaran yang acap kali
menjadi sebuah kebiasaan yang membiasa. Tak heran jikalau kesemrawutan itu
terjadi.
Alam
semesta saja tercipta dari sebuah keteraturan. Bumi dengan keteraturan dan
ketekunanya mengelilingi matahari sehingga terjadilah kehidupan di bumi. Alam telah
memberikan banyak contoh keteraturan yang menghidupi seluruh isi Bumi. Manakala
keteraturan itu terusik, maka bencana alam akan terjadi karena sebuah
pelanggaran atas sebuah peraturan.
Kesadaran
akan peraturan itu sebenarnya telah dimiliki oleh setiap manusia. Ia tahu mana
yang baik dan buruk, mana yang teratur dan mana yang tidak, mana yang
bermanfaat dan mana yang membawa mudharat. Namun adakalanya ketidak perdulian
akan kesadaran itu terpendam jauh di dasar pemikiran karena sebuah pembenaran
diri yang salah kaprah.
Aturan
yang seharusnya dibuat manakala manusia belum tahu akan adanya sebuah aturan, ahirnya
menjadi aturan yang tidak memiliki derajad nilai sama sekali. Aturan yang
seharusnya memiliki nilai moral menjadi terdegredasi karena kebutaan dalam
pemahaman.
“SEHABIS BUANG AIR HARAP DISIRAM…!!!!”, itulah salah satu dari sekian
banyak aturan yang membuat baik si pembuat aturan atau si pelaku peraturan
menjadi tidak cerdas. Apakah benar sipembuat aturan itu tidak cerdas ? atau di
pelaku aturan itu yang tidak cerdas ?. Bagaimana budaya moral manusia jikalau
peraturan tersebut terpampang di toilet-toliet umum, Mall atau bahkan di
perkantoran-perkantoran. Untuk sebuah aturan remeh temeh seperti itu pun masih
harus di ingatkan. Bahkan sudah di ingatkankan pun, masih banyak juga yang lupa
akan kesadaranya. Harus kah sebuah peraturan itu di buat, jikalau sebenarnya
kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan. Aturan itu dibuat oleh si pembuat
aturan seolah-olah kebodohan itu sudah merajalela. Jangan-jangan nanti akan ada
peraturan yang lebih detail lagi di tolilet seperti “ Jatuhkanlah e’ek anda tepat ditengah lubang closet” atau “ Hindari buang air besar sambil berdiri “
atau “Sehabis buang air besar, jangan
lupa cebok”.
Dari
mulai perkara yang sepele pun jika kita mematuhinya, maka alam semsta ini akan
berzikir dan memberikan apresiasi kepada kita dalam bentuk sebuah ketenangan
jiwa. Mematuhi aturan alam tanpa adanya sebuah peraturan yang dibuat secara
formal tapi tercipta dari sebuah rasa kesadaran yang ada, akan lebih membuat
kita menjadi cerdas secara spiritual, karena sejatinya manusia itu mahluk
spiritual.
Ketika
aturan-aturan yang kecil dan sudah dibuat saja masih dilanggar dengan segala argument
pembenaranya, maka sudah sewajarnya untuk level aturan yang tinggi dan njlimet
pun akan ada pelanggaran dengan segala argument pembenaran yang kenjlimetanya
selevel dengan tingginya aturan itu.
Tak
heran jikalau ada aturan yang dibuat menjadi sedikit ekstrim karena ke
ekstriman pelanggar peraturan itu sendiri sudah melampaui batas. Contonya ada
aturan yang terpampang di sebuah halaman rumah kosong yang dibuat sendiri oleh pemiliknya.
“Hanya
anjing yang buang sampah disini..!!!”. Apakah sudah serendah ini martabat
manusia, sehingga anjing yang tidak bersalah pun ikutan menjadi korban.
Ketika
kita melanggar aturan sekecil apapun, sebenarnya didalam hati kecil kita sudah
ada signal positif yang menyatakan bahwa ini tidak boleh, itu salah, atau
seharusnya begini dan lain-lain. dan jika kita melakukan pembiaran, maka signal
rasa salah itu perlahan akan hilang dan yang seharusnya memang salah akan berganti
menjadi sesuatu yang biasa saja untuk dilakukan. Maka pupuklah kesadaran yang
ada dalam hati kecil itu agar tidak sirna atau ia akan hilang dan berganti
dengan berbagai signal negative yang “diangnggap” positif. Trimakasih (WD)
No comments:
Post a Comment