
“Buruk
muku cermin dibelah”, itulah sebuah perumpamaan yang bermakna, ketika kita
melakukan kesalahan, namun justru menyalahkan orang lain untuk menjadi kambing
hitam. Untuk perumpamaan ini saya lebih suka merubah dan memodifikasi sedikit
kalimatnya menjadi “ Buruk muka, ya jangan sering-sering bercermin. Sehingga
bisa mengurangi rasa untuk tidak menyalahkan pihak lain.
Cermin
merupakan sebuah kaca yang dapat memantulkan atau merefleksikan benda apapun
yang berada di depanya. Refleksi dan pantulan itu akan sama persis dengan benda
yang berada di depanya. Tentu saja ini tidak berlaku untuk cermin cembung atau
cekung atau bahkan cermin yang sudah rusak atau retak.
Hakikat
bercermin itu adalah untuk melihat tampilan fisik diri kita, apakah sudah
sesuai yang harapkan atau belum. Ketika kita melihat kondisi fisik diri yang di
refleksikan oleh cermin tersebut, maka akan ada sebuah bahasa hati yang keluar
untuk memuji, bersukur, tersenyum atau bahkan prihatin melihat tampilan diri. Tapi
apapun bentuk bahasa hati yang keluar, maka itulah dampak dari refleksi yang
keluar dari dalam cermin.
Jika
kita meluangkan waktu sejenak untuk merenung didepan sebuah cermin dan
mencermati sosok yang berada dalam cermin tersebut, maka cobalah untuk
menyelami apa yang dikehendaki insan dalam cermin tersebut. Cobalah untuk
bertanya dan apa mauya insan dalam cermin tersebut, karena dialah satu-satunya
orang yang tidak mungkin berbohong pada kita. Dialah orang yang sangat mengenal
diri kita melebihi siapapun bahkan senyum palsu kita pun akan nampak palsu di
depanya.
Dengan
bercermin, kita akan dapat mengenal sisi fisik kita, namun ada yang lebih
penting dari hanya sekedar mengenal fisik semata. Sebuah kalimat bijak dari
sorang sufi mengatakan, kenalilah dirimu maka engkau akan mengenal Tuhanmu.
Konsep untuk mengenal diri, bisa dimulai dari bercermin. Ketika sejatinya kita
mengenal diri kita secara fisik maka hanya tinggal menambah intensitas dalam
merenung di depan cermin, untuk mengenal lebih jauh apa yang sebenarnya
bersemayam didalam fisik tersebut. Tahapan merenung secara dalam untuk
menemukan jati diri kita merupakan tahapan dimana sajatinya kita adalah apa
yang ada dalam fisik tersebut. Tampilan jasad atau fisik pembungkus merupakan
bagian duniawi yang digunakan untuk beraktifitas di dunia. Sedangkan apa yang
berada dalam jasad itulah sejatinya diri kita.
Insan
yang berada didalam cermin itu merupakan wujud dari diri kita untuk selalu
mengingatkan ketika insan nyata melakukan kekeliruan. Introspeksi diri
merupakan bentuk teguran dari insan
dalam cermin tersebut. Ketika bentuk teguran itu tidak di hiraukan oleh fisik
nyata, maka pertanda kita belum mengenal siapa diri kita dan berarti pula kita
belum mengenal sejatinya Tuhan.
Pentingnya
introspeksi diri itu juga sebagai sarana check and Balace terhadap diri kita
ketika proses kehidupan berlangsung, karena alam pun membutuhkan keseimbangan
untuk keberlangsunganya. Ketika introspeksi diri berproses secara baik, maka
segala bentuk kekeliruan dan kesalahan yang sudah pernah kita lakukan akan
dijadikan sebuah warning agar kekeliruan dan kesalahan tersebut dapat
terminimalisasi dikemudian hari.
Cermin
memberi kita pelajaran tentang kejujuran dan keterbukaan karena refleksi dari
cermin tidak bisa bohong, seperti halnya hati nurani kita yang tidak bisa
berbohong kepada diri kita. Sekalipun kita membohongin orang lain, tapi hati
nurani tidak bisa dibohongi.
Ketika
kita berdusta kepada orang lain, maka akan ada semacam signal ganjalan dalam
diri kita karena kedustaan tersebut, dan
itulah reaksi jeritan dari hati nurani. Dan ketika hati nurani selalu
terbelenggu dalam kedustaan jasad atau fisik, maka kedekatan kita terhadap hati
nurani akan menjadi jauh yang berarti kita mengenal diri kita tetapi tidak
menghiraukanya.
Keberadaan
hati nurani yang selalu terabaikan akan menjadi kerdil karena desakan dari
jasad atau fisik yang tidak mau menghiraukanya. Dan ketika hati nurani sudah
menjadi kerdil, maka keberadaanya sudah tidak berarti lagi atau mati nya hati
nurani kita. Jika saja hati nurani itu bisa setiap saat pergi dari jasad atau
fisik kita, mungkin ketika keberadaanya sudah tidak di hiraukan lagi, dia akan
pergi begitu saja dan tinggalah kita tanpa hati nurani. Dan apa yang akan
terjadi jika manusia hidup tanpa hati nurani.
Dengan
lebih banyak bercermin dan introspeksi dalam renungan, maka proses pengenalan
terhadap diri sendiri menjadi lebih dekat. Dan dengan kedekatan ini akan
mempermudah kita untuk proses mengenal sejatinya sang Maha Pencipta dengan
segala apa yang dikehendakiNYa terhadap diri kita. Trimakasih (WD)
No comments:
Post a Comment