Saturday 27 April 2013

CERMIN



“Buruk muku cermin dibelah”, itulah sebuah perumpamaan yang bermakna, ketika kita melakukan kesalahan, namun justru menyalahkan orang lain untuk menjadi kambing hitam. Untuk perumpamaan ini saya lebih suka merubah dan memodifikasi sedikit kalimatnya menjadi “ Buruk muka, ya jangan sering-sering bercermin. Sehingga bisa mengurangi rasa untuk tidak menyalahkan pihak lain.

Cermin merupakan sebuah kaca yang dapat memantulkan atau merefleksikan benda apapun yang berada di depanya. Refleksi dan pantulan itu akan sama persis dengan benda yang berada di depanya. Tentu saja ini tidak berlaku untuk cermin cembung atau cekung atau bahkan cermin yang sudah rusak atau retak.

Hakikat bercermin itu adalah untuk melihat tampilan fisik diri kita, apakah sudah sesuai yang harapkan atau belum. Ketika kita melihat kondisi fisik diri yang di refleksikan oleh cermin tersebut, maka akan ada sebuah bahasa hati yang keluar untuk memuji, bersukur, tersenyum atau bahkan prihatin melihat tampilan diri. Tapi apapun bentuk bahasa hati yang keluar, maka itulah dampak dari refleksi yang keluar dari dalam cermin.

Jika kita meluangkan waktu sejenak untuk merenung didepan sebuah cermin dan mencermati sosok yang berada dalam cermin tersebut, maka cobalah untuk menyelami apa yang dikehendaki insan dalam cermin tersebut. Cobalah untuk bertanya dan apa mauya insan dalam cermin tersebut, karena dialah satu-satunya orang yang tidak mungkin berbohong pada kita. Dialah orang yang sangat mengenal diri kita melebihi siapapun bahkan senyum palsu kita pun akan nampak palsu di depanya.

Dengan bercermin, kita akan dapat mengenal sisi fisik kita, namun ada yang lebih penting dari hanya sekedar mengenal fisik semata. Sebuah kalimat bijak dari sorang sufi mengatakan, kenalilah dirimu maka engkau akan mengenal Tuhanmu. Konsep untuk mengenal diri, bisa dimulai dari bercermin. Ketika sejatinya kita mengenal diri kita secara fisik maka hanya tinggal menambah intensitas dalam merenung di depan cermin, untuk mengenal lebih jauh apa yang sebenarnya bersemayam didalam fisik tersebut. Tahapan merenung secara dalam untuk menemukan jati diri kita merupakan tahapan dimana sajatinya kita adalah apa yang ada dalam fisik tersebut. Tampilan jasad atau fisik pembungkus merupakan bagian duniawi yang digunakan untuk beraktifitas di dunia. Sedangkan apa yang berada dalam jasad itulah sejatinya diri kita.

Insan yang berada didalam cermin itu merupakan wujud dari diri kita untuk selalu mengingatkan ketika insan nyata melakukan kekeliruan. Introspeksi diri merupakan bentuk  teguran dari insan dalam cermin tersebut. Ketika bentuk teguran itu tidak di hiraukan oleh fisik nyata, maka pertanda kita belum mengenal siapa diri kita dan berarti pula kita belum mengenal sejatinya Tuhan.

Pentingnya introspeksi diri itu juga sebagai sarana check and Balace terhadap diri kita ketika proses kehidupan berlangsung, karena alam pun membutuhkan keseimbangan untuk keberlangsunganya. Ketika introspeksi diri berproses secara baik, maka segala bentuk kekeliruan dan kesalahan yang sudah pernah kita lakukan akan dijadikan sebuah warning agar kekeliruan dan kesalahan tersebut dapat terminimalisasi dikemudian hari.
Cermin memberi kita pelajaran tentang kejujuran dan keterbukaan karena refleksi dari cermin tidak bisa bohong, seperti halnya hati nurani kita yang tidak bisa berbohong kepada diri kita. Sekalipun kita membohongin orang lain, tapi hati nurani tidak bisa dibohongi.

Ketika kita berdusta kepada orang lain, maka akan ada semacam signal ganjalan dalam diri kita  karena kedustaan tersebut, dan itulah reaksi jeritan dari hati nurani. Dan ketika hati nurani selalu terbelenggu dalam kedustaan jasad atau fisik, maka kedekatan kita terhadap hati nurani akan menjadi jauh yang berarti kita mengenal diri kita tetapi tidak menghiraukanya.

Keberadaan hati nurani yang selalu terabaikan akan menjadi kerdil karena desakan dari jasad atau fisik yang tidak mau menghiraukanya. Dan ketika hati nurani sudah menjadi kerdil, maka keberadaanya sudah tidak berarti lagi atau mati nya hati nurani kita. Jika saja hati nurani itu bisa setiap saat pergi dari jasad atau fisik kita, mungkin ketika keberadaanya sudah tidak di hiraukan lagi, dia akan pergi begitu saja dan tinggalah kita tanpa hati nurani. Dan apa yang akan terjadi jika manusia hidup tanpa hati nurani.   

Dengan lebih banyak bercermin dan introspeksi dalam renungan, maka proses pengenalan terhadap diri sendiri menjadi lebih dekat. Dan dengan kedekatan ini akan mempermudah kita untuk proses mengenal sejatinya sang Maha Pencipta dengan segala apa yang dikehendakiNYa terhadap diri kita. Trimakasih (WD)

No comments:

Post a Comment