Thursday 27 December 2012

ANTARA INTELEKTUALITAS DAN OBYEKTIVITAS


Memang sepertinya agak sulit memisahkan antara pemikiran berbasis kepentingan dan pemikiran berbasis  realitas. Ketika seseorang berada pada sebuah kepentingan yang menuntut nya harus membela kepentingan itu, maka prilaku dan pemikiran nya akan cenderung untuk mendukung asumsi itu. Seluruh entitas intelektualitasnya di curahkan untuk kepentingan itu. Apalagi ketika pemikiran untuk kepentingan itu dirasakan kebenaranya secara sudut pandang pribadi, maka berbagai argument kritis sudah siap untuk menangkal manakala ada pihak-pihak yang menyalahkan pendapatnya.

Sebuah pendapat yang benar secara subyektivitas, apalagi sarat dengan sebuah kepentingan kelompok atau golongan, tentu tidak bisa mewakili kebenaran seluruh pihak. Tetapi manakala kebenaran subyektivitas ini dijadikan pembenaran absolut bahkan terkesan dipaksakan, maka akan ada pertentangan argument dan intelektualitas dari berbagai literature. Pertentangan ini bukan semata mencari kebenaran absulut tetapi lebih kepada egoisme dalam mengolah kata dan saling ber adu referenfsi atau siapa lebih cerdas dari siapa.

Sebuah realitas yang terjadi mungkin bisa dijadikan gambaran nyata, dimana ada seorang Ekonom lulusan PhD dari luar negri yang mengriktik kinerja Gubernur DKI yang baru 2 bulan terpilih dan tidak becus dalam mengatasi banjir di DKI dan bahkan cenderung memperolok-olok. Mungkin ini sebuah analisanya yang secara intelektualitas subyektivitasnya benar dan layak di kritik. Tapi ketika kritik ini mengarah kepada substansi yang tendensius karena pihak yang di jagokanya kalah dalam PILKADA DKI, maka tentu saja apa yang menjadi analisanya sangat mudah ditebak maksud dan tujuanya.

Ketika sebuah pernyataan yang berdasarkan atas asumsi kepentingan pribadi atau kelompok, maka jarang ada yang memberikan pernyataan yang bersifat apresiasi murni terhadap apapun subyek yang dilakukan lawan kepentinganya. Mungkin ini sudah menjadi pakem atau pedoman dalam etika kelompok atau golongan yang berseteru. Namun pakem ini sejatinya akan membuat legitimasi bahwa doktrin kebenaran itu tidak tunggal. Seharusnya esensi kebenaran itu memang tunggal, tapi jalan menuju kebenaran itu yang tidak tunggal.( tidak untuk konteks keyakinan)

Sebuah kebenaran subyektive yang dipaksakan tidak akan pernah berubah menjadi kebenaran obyektive meskipun ahirnya kebenaran subyektive itu dijalankan banyak pihak. Pada saat seseorang membela kelompok atau golonganya dengan segala kemampuan dan intelektualitasnya, namun ketika yang dibelanya adalah subyek yang keliru, maka segala argument dan intelektualitas orang tersebut akan terdilusi dan terbawa oleh kekeliruan yang ada pada saat itu.

Intelektualitas yang terdilusi akan nampak pada pembelaan dan argument yang dikeluarkan. Sama halnya ketika seseorang yang tinggi intelektualitasnya bahkan pendidikanya dan dia melakukan tindakan pencurian dan sudah nyata-nyata mencuri, tapi dia tetap dengan argumenya bahwa dia tidak mencuri. Segala aspek hukum dan logika di kerahkanya untuk melakukan pembelaan. Dan pembelaan ini justru akan menunjukan intelektualitas atau kecerdasanya menurun. Orang inilah yang disebut dengan tahu ketidaktahuanya tetapi tidak mau tahu.

Mempertaruhkan kredibilitas dan intelektualitas hanya untuk sebuah pernyataan yang tendesius itu mungkin saja membawa kepuasan batin bagi pelakunya dan seolah menguji pendapat umum untuk mendebatnya. Tetapi ketika ke tendensiusan itu adalah pada sesuatu yang kurang tepat, apakah sejujurnya itu dinamakan kepuasan batin. Karena kepuasan batin itu akan tercapai ketika pernyataan kita linear dengan kebenaran obyektive.

Di lain sisi, pernyataan dan prilaku tendensius untuk suatu golongan dan kepentingan, sebenarnya tetap memiliki dasar pada logika berfikir yang realistis. Dan itu tetap ada dalam nurani siapapun meski pada berbagai pihak yang berseteru sekalipun. Namun nurani itu tidak muncul sebagai pernyataan dikarenakan tertekan oleh kepentingan. Ketertekanan nurani ini sejatinya akan mempengaruhi pola pikir, sehingga pernyataan dan pendapatnya akan menjadi dangkal.

Pertaruhan intelektualitas seperti ini terkadang tidak disadari oleh mereka karena kewajiban etika untuk memihak kepada kelompoknya. Tetapi manakala mereka keluar dari kelompoknya dan berada pada garis netral, maka obyektivitas nya dalam berpendapat akan nampak tanpa dibebani etika moral untuk berpihak kepada siapapun. Sehingga pendapat yang bersumber dari nurani intelektualitas akan muncul sebagai pendapat yang obyektive dari sudut pandang yang sederhana sekalipun karena mengalir tanpa beban dan tekanan. Trimakasih (WD)

No comments:

Post a Comment