
Satu
kata ini sering kita dengar sebagai sebuah ungkapan perasaan kebersalahan. Dalam
bahasa Arab kata KHILAF ini berarti keliru atau salah. Memang rasanya kata khilaf
sangat cocok untuk mewakili sebuah kesalahan atau keteledoran yang kita lakukan
dan dengan hasrat untuk tidak mengulanginya lagi.
Sebuah
kesalahan bisa langsung terdilusi kadar salahnya secara etika moral ketika di
ungkapkan dengan pengakuan kata khilaf, apapun bentuk kesalahanya dan seberapa
besar atau kecil kesalahanya. Namun kebermaknaak kata khilaf akan menjadi
sebuah kebodohan arti jika para pengguna kalimat tersebut melakukan pengulangan
kesalahan. Tak ada kalimat yang lebih pantas dan sopan untuk di ucapkan oleh seorang
koruptor yang tertangkap tangan kecuali khilaf. Begitu juga kata khilaf sering
kali di dengungkan bagi pelaku perselingkuhan yang ahirnya diketahui oleh
pasangan resminya.
Kata
Khilaf memang sangat manjur menghipnotis siapa saja yang mendengar atas sebuah
pengakuan dosa. Dosa yang di perbuat karena ketidak tahuannya, ketidak sadarannya
atau ketidak ingatan alias lupa. Tapi apapun bentuk sebuah dosa, jika sudah
terucap kata khilaf sebagai bentuk penyesalan yang dalam atas perbuatanya, maka
seyogya nya memiliki makna sebuah taubat yang secara islam disebut taubat
nasuha. Taubat yang benar-benar ditujukan kepada Allah SWT semata-mata karena
kesalahan yang benar-benar di luar kondisi control diri. Taubat yang ikhlas, tulus
,suci murni, menyesali dengan benar-benar penyesalan terhadap kesalahan yang dilakukan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahan tersebut.
Jika
makna dalam dari Khilaf yang kemudian di ikuti oleh taubat nasuha, maka
secercah cahaya hidup akan serasa kembali bersinar. Namun jika kata khilaf
hanya ungkapan kata tanpa makna maka peluang terjadinya kesalahan yang sama
akan terbuka lebar. Bagaikan melupakan sejenak kesalahan dan siap mengulanginya
dimasa yang akan datang.
Kesadaran
akan makna khilaf dan taubat sebenarnya sederhana. Ketika sebuah kesalahan yang
pernah diperbuat itu terulang kembali, maka sudah dipastikan kata khilaf yang
terucap pada kesalahan yang pertama merupakan kata tanpa makna. Pengucapan kata
khilaf pun menjadi semacam manipulasi jiwa atas ketidak beranian bersungguh-sungguh
dan meragukan kemampuan diri untuk tidak mengulangi kesalahanya lagi. Jika Kata
khilaf yang terucap di bibir tidak di ikuti oleh sebuah prilaku penyesalan
dalam jiwa, maka ketika kejadian yang sama terulang kembali, rasa nya kok tidak
pantas jika kata khilaf terucap kembali di bibir, namun itu hanyalah statmen
saya yang mencoba untuk menganalisa secara makna kalimat. Namun saya rasa pertimbangan
Allah akan jauh lebih bijaksana katimbang saya ketika menilai seseorang
melakukan kesalahan-kesalahan yang sama dan berulang-ulang namun terus menerus
menyebutnya sebuah ke khilaf an.
Namun
ketika kita masih diberikan kesempatan hidup oleh Yang Maha Esa, berarti kita masih
diberikan kesempatan untuk mencerna Khilaf yang selama ini kita lakukan. Baik itu
khilaf kecil maupun khilaf besar. Dan apapun bentuk khilaf itu, tentu saja kita
dipersilahkan untuk merenung, akankah kita berbuat khilaf untuk yang kesekian
kali terhadap kesalahan yang sama atau kesalahan yang berbeda. Dan akan kah kata
khilaf itu menjadi bermakna atau tanpa makna ketika sebuah logika akal sehat kita
mencerna nya. Trimakasih (WD)
Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf.
ReplyDelete(Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)