Friday 18 November 2011

TETANGGA




Seneng rasanya jika kita memiliki lingkungan masarakat yang sama-sama saling mengerti bagaimana harus bersosialisasi dan bermasyarakat. Sebuah kerukunan antar masyarakat terkecil dimana sehari-hari kita banyak menghabiskan waktu bersama keluarga di lingkungan itu. Rasanya sebuah surga dunia yang tak terkira andai kerukunan itu terwujud secara harmonis. Namun namanya juga manusia yang sangat homogin atau berbeda-beda baik itu dari latar belakang pendidikan, tingkat sosial, cara berfikir, bahkan mungkin juga suku, golongan darah dan zodiak pun berbeda, sehingga wajar saja terjadi friksi dalam bemasyarakat.



Dalam sebuah tatanan masyarakat terkecil,  kita mengenal rukun tetangga yaitu sebuah lingkup kecil dari lingkungan bersosialisasi sebuah keluarga. Kerukunan bertetangga itu bisa menjadi kompleks tapi bisa juga menjadi simple tergantung bagaimana cara berfikir dan cara memandangnya. Akan menjadi kompleks jika dalam sebuah kerukunan bertetangga tetapi tidak memahami makna dari kebersamaan dalam bertetangga. Adakalanya tetangga yang hanya dipisahkan oleh satu tembok pemisah manjadi tidak akur karena rasa kebersamaan dalam bermasyarakat itu tidak mereka pahami. Bahkan namanya hidup berdampingan pasti saja ada hal-hal yang membuat mereka saling tidak nyaman satu sama lainya. Misalnya saja Tetangga sebelah beli mobil, kok kita yang panik. Tetangga liburan keluar negri kok kita yang sewot, asal jangan tetangga sebelah hamil kok kita juga yang cemburu...seolah-olah ikut menanam saham .( not recommended).

Apa kira-kira penyebabnya,...? itu karena kita kurang memahami rasa kebersamaan dan toleransi antar sesama, serta perasaan selalu menjadi benar sehingga apapun yang terjadi dengan tetangga selalu saja mencari pembenaran diri sendiri unk menyalahkan tetangga. Ada juga perasaan ego individualistis sehingga apapun yg dilakukan dan dikerjakan, tidak terlalu memperdulikan dampak terhadap lingkungan bertetangga. Sebuah karakter memang sulit untuk berubah tapi bukan berarti tidak bisa berubah. Apalagi pemikiran yang selalu melakukan pembenaran diri sendiri sehingga tidak melihat dari sisi obyektifitas.

Sebuah kehidupan masyarakat bertetangga memang rentan terhadap masalah-masalah remeh-temeh yang bisa menjadi besar jika tidak saling mampu mengendalikan diri. Masalah ternak bebek yang buang hajat di pekarangan tetangga pun tak luput dari sebuah masalah dalam bertetangga dan bisa menjadi masalah pembunuhan..( Maksudnya bebeknya disembelih oleh tetangga ). Namun apakah akal sehat seorang manusia akan terciderai oleh masalah per"bebek"an dan menjadi silang sengketa dalam bertetangga.  Atau hinggar bingar suara alunan musik karaoke tetangga sebelah yang mungkin sedang stress karena masalah kantor, masalah keluarga dan masalah lain-lain, sehingga dia butuh refreesing dengan teriak-teriak bernyayi seolah-olah suaranya merdu untuk didengar oleh sesama tetangga yang lain yang juga kebetulan sedang sakit gigi.

Itulah sebuah friksi kecil dalam kerukunan bertetangga, dan jika kita tidak mampu unk mengatasinya bersama, maka bisa menjadi sebuah mimpi buruk dalam hubungan bertetangga. Rasa tenggang rasa dan tegur sapa antar tetangga. Mutlak diperlukan unk meningkatkan keakrapan sehingga jika keakrapan terjalin, maka akan timbul rasa kalo dalam istilah kamus jawa kuno sekali " Ewuh pekiwuh" unk melakukan hal-hal yang kira akan mengganggu tetangga yang lain..atau paling tidak muncul kesadaran dalam diri kita jika ada tetangga yang kelakuanya agak aneh, maka sebuah rasa memakluminya akan muncul dengan kesadaran.

Macam-macam karakter,  sifat, kebiasaan dalam hidup seseorang pun akan mempengaruhi prilaku dalam kerukunan bertetangga dan bisa dibayankan jika dalam sebuah rukun tetangga terdiri dari bermacam-macam karakter dan latar belakang  yang berbeda jika tidak disatukan dalam sebuah persepsi toleransi yang sama, maka bisa dibayangkan apa jadinya lingkungan tersebut.

Rumah dalam dalam lingkungan bertetangga menjadi sangat nyaman pada linggkungan yang nyaman dan menjadi neraka pada lingkungan yang tidak tepat. Dan pada dasarnya kita membangun atau membeli rumah tinggal adalah unk menetap, berkembangbiak dan bermasyarakat. Jika sebuah lingkungan saja penuh dengan masalah-msalah yang menurut kita tidak sehat untuk berkembangan keluarga kita, memang sudah saatnya kita angkat barang dan cari lingkungan lain. Kecuali ada batas toleransi yang memang masih bisa dikendalikan. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang penuh dengan peredaran narkoba, apa jadinya buat perkembangan anak-anak kita nantinya, saya rasa masih mendingan tinggal dilingkungan yang tetangga memelihara bebek.

Tetangga itu ibarat sebuah keluarga, karena secara fisik, merekalah yang tinggal di sekitar terdekat dengan kita, jika kita tidak memulai menanamkan rasa persaudaraan, maka mereka ibarat angkot yang setiap hari lewat depan rumah kita. Tetangga ibaratnya lebih dekat dari saudara kandung sendiri yang tinggal di lain tempat. Karena mereka bisa setiap saat membantu kita karena faktor kedekatan fisik rumah. Jika ada masalah dengan rumah kita misalnya kebakaran, atau ada yg meninggal dunia, maka tetanggalah yg paling dekat mampu membantu secara capat.

Jika sebuah kehidupan bertetangga itu nampak rukun, damai dan penuh dengan persaudaraan, bisa diartikan masing-masing telah menyadari arti pentingnya sebuah hubungan baik antar bertetangga, sehingga bisa dikatakan sedikit sekali ada friksi yang akan muncul karena masing-msing dapat memaklumi, serta tidak mementingka ego individualistis.

Bertetangga memang tidak selalu membawa kebahagiaan jika ada saja factor-faktor yang memancing timbulnya sebuah masalah. Namun jika kebahagianaan itu memang dirasa harus muncul dalam sebuah lingkungan, maka tak lain yg harus dilakukan adalah, sapalah tetanggamu sesering mungkin. Psikis seseorang yg memiliki sifat pendiam dan tertutup pun akan mulai terbuka jika kita tak henti-hentinya bersikap ramah dan selalu menyapanya.  Itulah pancaran energi gelombang positif yang harus kita tebarkan pada siapa saja. Gelombang itu akan mampu meresonansi perasaan yang galau dan cenderung menutup diri. Sehingga jika sapaan demi sapaan ramah, menjadi sebuah kebiasaan di lingkungan keluarga , masarakat dan kantor serta dimana saja, maka indahnya dunia ini. Sebarkanlah energy-energy positif dimanapun untuk menekan energi negatif yang cenderung merusak jiwa dan mental manusia. Trimaksih (WINDTRA)





No comments:

Post a Comment