Wednesday 22 June 2011

MENGEJAR LAYANG-LAYANG




Bermain layang-layang memang mengasikan, apalagi cuaca dan angin yang mendukung. Tak perduli kulit jadi hitam dan rambut bau sengatan matahari, itulah masa kecilku yang begitu indah. Terkadang tak ku hiraukan waktu yang begitu menyita untuk sekedar bermain dan menaikan laying-layang. Memang menaikan layang-layang tak begitu memerlukan keahlian khusus. yang penting tahu kemana arah angin dan teknik sedikit cara menarik dan mengulur benang.



Saat itu karena memang sudah menjadi tradisi bagiku, aku terbiasa membuat layang-layang sendiri dengan berbagai model dan ukuran. Ketika kantong sedang tipis, terpaksa pula kubuat layang-layang ukuran biasa dan model yang biasa pula untuk evisiensi biaya. Matrial layang-layang dari bambu bisa didapatkan gratis, tapi untuk kertas warna terpaksa harus dibeli. Jika separah-parahnya tidak ada alokasi anggaran untuk membeli kertas warna, maka terpaksa kugunakan kertas koran bekas atau kertas bekas pembungkus semen. Nyatanya pun jadilah layang-layang kreasiku.

Dengan bangga kubawa layang-layang kreasiku itu ke sawah yang kebetulan lagi musim kering. Sambil bersiul-siul layaknya memanggil angin dan dibantu seorang asisten pribadi untuk memegang layangan itu dan aku yang memegang benangnya seolah akulah yang menjadi pilot nya.  Maka terbanglah layang-layang itu keangkasa.

Layaknya sedang berakting sebagai seorang pilot layang-layang professional, maka ku kendalikan layang-layang itu supaya tetap pada ordinat yang ku inginkan. Tarik ulur benang sudah menjadi manual book dalam menerbangkan layang-layang agar stabil dari tiupan angin. Sampai suatu ketika kondisi layang-layang sudah benar-benar stabil maka ku aktifkan Auto pilot dengan cara mengikat benangnya ke batang pohon.

Sambil nongkrong dibawah pohon, kunikmati tarian layang-layangku yang mengangkasa seolah layang-layang itu puas dan berterimakasih kepada sang pembuatnya. Tapi lama semakin lama kurasakan terpaan angin bertambah kencang dan layang-layang sepertinya mengalami turbalansi kuat dan sulit untuk dikendalikan meski sudah ku non aktifkan auto pilotnya.  Ahirnya karena benang tak mampu menahan terpaan angin, maka putuslah benang itu dan layang-layang semakin terbang bebas jauh tak terkendali.

Tak mau menunggu lebih lama, maka kuputuskan mengejar dan berlari untuk mendapatkan kembali hasil cipta karyaku itu. Lelah, jauh, panas sudah pasti menjadi taruhanya, apa boleh buat semua itu tak terpikirkan olehku. Didalah benakku yang muncul saat itu adalah hanya satu yaitu layang-layang itu harus kudapatkan kembali.

Memang perjuanganku tak sia-sia untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi hak ku. Meski capek dan kelelahan mendera, langsung sirna seketika saat layang-layang itu kembali kudapatkan.
Terkadang aku membayangkan berapa nilai untuk membeli sebuah layang-layang baru jikalau dibandingkan dengan susah payah dan capek untuk mengejar layang-layang yang putus. Tapi memang saat itu sudah menjadi semacam kebiasaan anak-anak dikampung seusiaku untuk mengejar layang-layang siapapun yang putus, dan berlomba siapa yang tercepat untuk mendapatkanya. Kebiasaan itu sungguh membuatku berfikir, begitu semangatnya jiwaku saat itu tanpa kenal lelah terus berupaya mendapatkan apa yang ku inginkan.

Kesenangan dan semacam kepuasan tersendiri itulah yang memacu semangat untuk mengejar dan mendapatkan layang-layang yang putus.  Jiwa-jiwa dan semangat itu sewajarnya menjadi modal bagi ku untuk tetap semangat dalam menjalani hidup sesusah apapun. Menjalani hidup ini bisa ku ibaratkan mengendalikan layang-layang. Cuaca dan angin selalu berubah-ubah, tantangan hidup dan cobaan pun selalu berubah-ubah. Semua tergantung dari bagaimana keahlian kita mengendalikan layang-layang itu.

Semakin lihay kita mengendalikan layang-layang, maka semakin tinggilah layang-layang itu mampu untuk membelah kencangnya tiupan angin. Jika suatu ketika layang-layang itu putus karena terpaan angin, maka hanya kita sendiri yang memiliki hak untuk menyelamatkan layang-layang itu. Jikalau hidup kita goyah karena terpaan tantangan hidup, maka kekuatan diri kitalah yang mampu untuk mengontrol dan menyelesaikan tantangan itu. Jika kita lihay untuk mengendalikan diri dalam hidup, maka apapun besarnya tantangan hidup, keahlian itu menjadi sebuah manual book untuk menyelesaikanya. Dan situlah letak sebuah nilai dari keberadaan kita di dunia. Trimakasih (WD)   

1 comment:

  1. jaman dulu blm ada gadget ya gan, anak2 mainannya layang2..

    ReplyDelete