Friday 24 June 2011

TUKANG CUKUR KREATIF



Sudah menjadi kebiasaanku, ketika rambut ku sudah mulai panjang dan susah diatur, maka kuputuskan untuk mengurangi kadar kepanjanganya alias pergi ke tukang cukur. Biasanya memang aku pergi ke salon langganan, selain tukang potong rambut nya cewek dan agak menarik dari sisi pandangan mataku, juga rambutku selalu di cuci setelah selesai dipotong, jadi rambutku pun langsung bersih dari sisa-sisa potongan rambut.

Tapi entah kenapa hari itu aku memutuskan untuk pergi ke tukang cukur biasa didekat komplek rumahku. Sehingga aku tidak tahu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan tukang cukur disitu. Dengan rasa pasrah kubiarkan rambutku dipangkas sesuai seleranya yang penting rapi. Dan aku memang tak pernah terlalu repot untuk masalah penampilan rambut, mungkin karena aku terlanjur percaya diri dengan penampilanku, jadi mau dipotong model apa saja…ya memang tetap begitulah bentuknya.



Dengan cekatan tukang cukur itu memodifikasi bentuk rambutku dan memang tak seberapa lama setelah itu, agak sedikit muncul ke gantenganku ##Nyengir##..………dan setelah pemotongan rambut pun selesai, maka ritual selanjutnya adalah pemberian BONUS berupa pijit kepala dan leher.

Nyaman memang kurasakan ketika kepala ini mulai di acak-acak, dipijit-pijit bahkan di plintir-plintir, dan tak terasa kepala ini jadi ngantuk. Dengan sisa-sisa ke ngantukan itu maka kupasrahkan kepala ini mau diapakan saja alias kupercayakan kepada tukang cukur itu. Dan saat yang tak kuda-duga ahirnya terjadi, ritual plintir leher kekanan-dan kekiri pun terjadi……Kreek dan kreek…luar biasa keras sekali suara itu sekeras plintiranya yang benar-benar membuatku kaget. Sakit sekali kurasakan leher ini….”wah jangan-jangan kebanyakan energy plintirn ini…,” kok malah membuatku ga nyaman dan malah serasa leher ini seperti salah urat. “Ah..mungkin hal biasa dan sakit hanya sementara saja” batinku.

Tapi ketika esok harinya, ternyata sakit dileher ini kok semakin parah bahkan sulit sekali aku menggerakkan leherku kekanan dan kekiri.  “wah…pasti ada yang salah ini” gerutuku sambil meringis. Memang leherku agak bengkak dan selama tiga hari aku harus menderita sakit leher luar biasa dan badanpun sampai demam.

Aku jadi berfikir, sudah jadi korban yang keberapa dari kekerasan tukang cukur itu dalam melakukan aksi plintir leher. Sebuah kenekatan yang seharusnya tidak terjadi karena memang tukang cukur itu bukan lah ahli pijit, tapi memaksakan diri untuk memijit dan inilah akibatnya menimpa diriku. Aku terus membanyangkan, anda kata saat itu, tekanan energy plintiran leher itu ditambah sedikit saja voltasenya, bisa-bisa malah berahir nasib ku dibawah kekerasan tukang cukur.

Memang juga bukan salah si tukang cukur itu, maksudnya mungkin baik sekedar membuatku relax dengan memberikan bonus pijitan di kepala. Tapi ketika bonus itu malah menjadi petaka, apakan bonus itu tetap saja bisa dikatagorikan bonus. Seharusnya bonus yang konotasinya baik, menjadi hasil yang baik pula, apapun bentuknya.

Ketidaktahuan dalam memberikan hadiah, bonus ataupun penghargaan apapun dalam bentuk apapun, terkadang tidak semuanya berahir dengan sebuah kebahagian bagi pihak yang menerima. Kecerdasan dalam memberikan bonus, hadiah ataupun penghargaan adalah mutlak diperlukan bagi siapa saja pihak-pihak yang memberikan. Tak sedikit pihak-pihak yang diberikan hadiah atau menerima hadiah, justru malah menggerutu atau ngomel karena ketidak sesuaian hadiah itu, atau pihak yang menerima senang tetapi tidak menyadari bahwa sebenarnya hadiah atau bonus itu tidak cocok atau bisa membahayakan dirinya.

Sebuah ilustrasi kecil, jikalau seorang anak umur 15 tahun diberikan hariah sepeda motor, pasti anak itu akan bahagia sekali. Tapi apakah ini mendidiknya. Tentu belum saatnya anak seusia itu diberikan hadiah motor, karena memang belum boleh untuk mendapatkan surat ijin mengemudi dari kepolisian. Apabila anak ini nekat berkendara dijalan raya, mungkin berakibat ditangkap polisi. Dan yang lebih penting lagi adalah mentalitas anak tersebut, apakah mentalnya sudah siap berkendara dijalan raya dengan segala tingkat emosi yang tinggi dan aksi kebut-kebutan antar anak seusianya. Justru ini bisa membahayakan jiwa anak tersebut.

Sebuah pribahasa langit menyebutkan “ tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah”. Mungkin bisa dimaknai, “ memberi lebih baik daripada menerima”. Tapi jangan dimaknai menyuap lebih baik daripada menerima suap.  Etika dan kecerdasan dalam memberikan sesuatu kepada pihak yang menerima menjadi sesuatu yang penting, ketika kita berfikir tentang sebuah manfaat positif yang bisa di ambil oleh sang penerima. Lebih mulia tidak memberikan apa-apa, daripada memberikan apa-apa tapi tidak bermanfaat apa-apa bahkan bisa menimbulkan apa-apa yang negative. Trimakasih (WD)

No comments:

Post a Comment