Tuesday 21 June 2011

TUKANG KREDIT KELILING




Sebuah terobosan bisnis terkadang memang tak melihat aspek perniagaan secara lazimnya, yang penting bisnis berjalan dan uang pun berkumpul. Umumnya orang berniaga secara nyata, biasanya memilih tempat yang ramai seperti pasar, mall dan tempat-tempat dimana terjadi transaksi langsung, kecuali perniagaan virtual. Orang menyebut sebagai pasar dimana tempat berkumpulnya para pelanggan dan pedagang secara langsung.



Tetapi memang bukan sebuah terobosan jikalau dalam berbisnis tidak memiliki trik dan intrik untuk meningkatkan omsetnya. Apapun dilakukan, tak terkecuali tukang kredit barang-barang rumah tangga yang dulu sering ngider di kampungku. Kupikir, karena ke tidak tahuanku waktu itu, tukang kredit ini kusebut sebagai orang yang mau pindahan rumah. Bagaimana tidak orang berpikiran seperti itu, karena segala perabot rumah tangga dari mulai gayung, ember, sapu bahkan kasur lipat terangkut dan nongkrong di sepeda motor mereka.

Dengan segala keunikan dan keaneka ragaman barang rumah tangga yang mereka jual door to door, jelas akan memudahkan para pembeli untuk memilih, menawar juga yang lebih penting adalah sistim cicilan atau kreditan tanpa uang muka, sehingga untuk kalangan orang kampung sangat membantu sekali, meskipun bunga cicilanya terkadang lumayan menguras kantong mereka yang memang sudah cekak dan yang lebih ekstrim lagi, para tukang kredit ini memungut uang cicilanya bahkan ada yang dipungut setiap hari.  

Tapi itulah sebuah kenekatan yang dilakukan tukang kredit keliling yang sebanding dengan kenekatan para pembelinya juga. Sama-sama dalam kenekatan. Kenekatan tukang kredit keliling ini jelas nampak dari caranya membawa barang jualanya yang tentu saja melebihi tonase sebuah kendaraan roda dua yang di ijinkan. Sedangkan kenekatan para pembeli lebih kepada keberanianya untuk mengkredit barang-barang rumah tangga yang sebenarnya relative murah. Bayangkan saja ember seharga 20 ribu rupiah pun dicicil selama 25 hari dengan cicilan 1000 rupiah/hari.

Tentu saja kenekatan-kenekatan ini sah-sah saja dalam dunia perniagaan, toh mereka sama-sama menyetujuinya. Bagi seorang tukang kredit jalanan, pangsa pasar mereka jelas bukan kalangan orang kaya atau berduit sehingga mereka cenderung untuk memasarkan produknya ke area-area kampung yang lebih ke kampung lagi. Mereka menyesuaikan dengan sistim yang yang mereka bangun dan kembangkan dan tentu saja menyesuaikan juga dengan pundi-pundi para pembeli.

Terkadang pun, tak jarang para tukang kredit keliling itu mengalami kesulitan dalam penagihan piutangnya alias kredit macet dan tentu saja tak berdaya untuk menyewa debt collector seperti citi bank untuk menagihnya. Kesulitan inilah terkadang yang membuat para tukang kredit ini merugi, boro-boro melapor kepada yang berwajib, sedangkan proses transaksinya pun rasa-rasanya tanpa ada agunan atau tak ada semacam memorandum of understanding. Yang penting saling percaya saja.

Sebenarnya rasa percaya inilah yang menjadi komitmen bersama dalam transaksi kredit keliling yang tentu saja tidak dibenarkan dalam undang-undang transaksi perbankan atau lembaga yang hobby memberikan kredit. Wong yang jelas-jelas ada agunan dan setumpuk dokumen penunjang pun terkadang masih terjadi kredit macet, apalagi hanya semacam rasa saling percaya.

Transaksi layaknya tukang kredit keliling ini pun tak ubahnya seperti membudayakan masyarakat untuk terbiasa berhutang. Dilain sisi, memang masarakat kecil merasa terbantu dengan adanya keberadaan mereka yang berani memberikan kreditan barang. Tapi dilain sisi para tukang kredit keliling ini sekaligus memupuk tradisi konsumtive, meski dengan cara berhutang.

Dalam sekala kecil mungkin ini tidak berlebihan, tetapi jika dalam sekala besar bisa menjadi berlebihan bahkan tradisi berhutang ini bisa menjadi trend. Tapi itulah sebuah inovasi yang mungkin bisang saja dibilang inovativ dari para tukang kredit keliling dalam menerobos peradaban perniagaan. Tentu saja mereka juga tetap menggunakan teori legal lending limit ( batas maksimum pemberian kredit ) yang mereka buat dan mereka atur sendiri mekanismenya dalam memberikan kreditanya.  

Jikalau dalam sebuah perniagaan terjadi transaksi mutualisme, tentu saja ini sangat menjadi norma baik dalam perniagaan. Tetapi jika terjadi transaksi parasitisme, tentu saja menjadi norma yang buruk. Sedangkan transparansi antara mutualisme dan parasitisme dalam perniagaan terkadang di kamuflasekan seolah-olah semuanya mutualisme. Kecuali pihak-pihak yang nyata-nyata terpaksa menjadi korban parasitisme. Trimakasih (WD)

No comments:

Post a Comment