Tuesday 24 May 2011

MACET DAN KESABARAN



Bermacam-macam umpatan mungkin sering terdengar saat kita terjebak dalam kemacetan ibu kota Jakarta. “Sudah tahu Jakarta macet tapi ente masih saja bertahan di Jakarta” mungkin itulah kira-kira kata yang tepat bagi siapapun Gubernur DKI  yang sedang menjabat demi sebuah pembelaan karena begitu rumit dan runyamnya mengatur dan merencanakan sebuah sistim yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.



Tak usah risau dengan parahnya kemacetan Jakarta, hadapi saja, hanya itulah saranku. Sebuah fenomena ibu kota yang padat penduduk dan tingkat pertumbuhan kendaraan yang pesat serta tidak ditunjang oleh infrastruktur jalan yang sesuai adalah resiko yang muncul dimanapun suatu tempat di bumi ini. Sayangnya tempat yang seperti itu justru menjadi daya tarik para pengais rizki untuk bertahan dalam hidup apapun jenis profesinya.

Memang begitulah, dimana ada kemacetan pasti ada kemakmuran. Apakah ini sebuah hukum alam atau hukum yang diciptakan manusia. Dimana orang bergelut dengan hiruk pikuk dan melupakan makna sebuah waktu yang habis untuk sebuah kemacetan. Tak hanya itu kemacetan ditambah polusi udara yang pasti buruk untuk kesehatan pun tak menghalangi orang untuk hijrah kekota Jakarta. Ya…sebagian orang memang mengais rizki di Jakarta karena tuntutan pekerjaan dengan segala resiko. Tapi tak sedikit juga orang lebih memilih untuk tinggal di daerah dan mengais riski di kampung. 
Semua adalah pilihan. Tapi ketika pilihan tersebut jatuh untuk mengais riski di kota besar seperti Jakarta, pasti harus siap dengan segala konsekuensinya, macet, polusi, banjir dan belum lagi tingkat kriminalitas yang tinggi.
Semua resiko itu harus sebanding dengan keinginan yang ingin dicapai. Maka sebuah antisipasi pun perlu untuk di siapkan agar tidak berprilaku seperti orang yang baru datang dan tinggal di Jakarta. Jikalau semua resiko itu diasumsikan sebuah petaka negative, maka cobalah untuk merubah paradigma itu sedikit demi sedikit, meski dengan teori dan pembenaran diri sendiri. Seperti yang selama ini saya lakukan demi bertahan dan menikmati Jakarta dengan segala apa adanya.  

Dalam suasanan macet adalah benar-benar membuat emosi dan penat yang mendalam dan tak ada jalan lain selain bersabar dan besabar sampai pantat ini lebar.
Begitu juga dengan suasana hujan sedikit yang mangakibatkan banjir, bagi komunitas yang terbiasa dengan banjir, kuncinya ya menunggu hujan reda dan banjir surut selanjutnya kembali ke kediaman masing-masing dan membersihkan sisa-sisa banjir. Bersabar ya hanya itu.

Tak sedikit juga bagi masarakat yang meluapkan emosi karena kemacetan ibukota dengan membunyikan klakson kendaraanya dengan keras atau menerobos marka jalan agar terhindar dari macet yang ahirnya menyimpang dari rasa disiplin. Sungguh itu sebuah budaya yang seperti terorganisir dan bagian dari strategi menghindar kemacetan.

Bagi yang tetap pada jalur kedisiplinan, memang berat dan harus menunggu dengan kesabaran, belum lagi jikalau ada angkutan kota yang main serobot dan memotong jalur kita…sungguh memancing emosi tingkat tinggi. Tapi apa boleh buat….itulah Jakarta yang menguji kesabaran tingkat tinggi dalam berkendara. Justru jika Jakarta terlihat lengang, maka malah timbulah pertanyaan “ Kok tumben Jalanan Jakarta lenggang…ada apa yah ?” pertanyaan itu justru tersirat sebuah kecurigaan “ jangan-jangan ada ini….jangan-jangan ada itu “. Ya begitulah jikalau sesuatu yang terlihat tidak lazim terjadi, maka malah timbul sebuah kecurigaan.

Rara-rata warga Jakarta bisa menghabiskan sedikitnya 2-3 jam perjalanan pulang dan pergi untuk menempuh jarak. Waktu tersebut dilalui dengan segala macam kejadian yang sangat menguji kesabaran di jalan. Bagi yang kadar darah nya tinggi, mungkin bisa mati muda karena stress. Bagi yang biasa naik angkutan umum, maka bersiaplah dengan debu, asap, bau keringat dan gaduhnya para pengamen jalanan. Belum lagi menghadapai kewaspadaan pada sekumpulan copet yang tidak baik hati.

Suka atau tidak suka hadapilah dengan lapang dada dan penuh dengan kesabaran. Mudah-mudah semakin banyak sabar akan membuat lebih bijaksana meski sebenarnya hanya menghadapai sebuah permasalahan macet yang tak kunjung padam. Trimakasih (WD)

No comments:

Post a Comment