Tuesday 28 September 2010

M E L A Y A T

Keheningan, dan kedukaan nampak di sebuah rumah ketika saya datang  berkunjung untuk melayat seorang teman yang anaknya meninggal dunia. Keharuan itu bertambah khusu ketika hujan rintik-rintik turut serta dalam peringatan itu seolah-olah ikut dalam kedukaan.

Seperti umumnya orang melayat, maka saya coba untuk menanyakan kronologis kejadianya yang mengakibatkan anaknya meninggal dunia dan tak lupa sedikit nasihat  saya berikan untuk tetap tabah dan iklas.


Bagi teman saya ini, mungkin sudah menjadi kewajibanya untuk menjelaskan kronologis kejadian yang menimpa anaknya kepada setiap tamu yang berkunjung dan mungkin jumlahnya juga banyak. Tradisi ini selalu terjadi pada siapa saja yang dirundung duka jikalau ada keluarga atau sanak famili yang tertimpa bencana meninggal dunia.
Sebuah budaya berbagi yang memang bisa untuk meredakan kedukaan siapa saja bagi yang dirundung duka. Dengan budaya itu pula, maka tak sedikit para pelayat yang akan memberikan support dan dukungan ataupun nasihat agar para pelaku duka ini tetap tabah dalam menghadapinya. Empati dari para tamu terhadap kedukaan ini dapat sedikit mengobati rasa duka yang mendalam.

Bagi saya pribadi, kunjungan melayat ini tak ubahnya seperti peringatan bagi saya untuk ingat akan suatu hal yaitu kematian. Tiap kali saya melakukan kunjungan-kunjungan kedukaan, maka membuat saya yakin bahwa setiap saat kejadian itu bisa menimpa siapa saja termasuk juga saya.
Dari mulai pemandian jenazah, disholatkan dan sampai pada titik pemakamam, para kerabat, tetangga dan sahabat pasti akan turut serta dalam prosesi itu.

Sebuah tradisi kegotong-royongan pada titik nadir dimana sang jenazah sudah tidak dapat mengetahui siapa yang memandikanya, mensholatkanya dan mengusung ke tempat peristirahatannya terahir. Apakah sang jenazah semasa hidupnya bakal tahu bahwa nanti si A yang akan memandikanya atau si B yang akan mensholatknya dan si C yang akan mengusungnya ke tempat pemakaman?
saya rasa tak pernah dia tahu, mungkin hanya sebuah naluri bahwa kalo semasa hidupnya dia baik dalam bermasyarakat dan bertetangga serta selalu berempati dalam kedukaan yang menimpa sesama, maka tak akan susah ketika ahir hidupnya dalam menuju tempat peristirahatan terahir.

Ada sebuah kenikmatan batiniah yang mungkin dirasakan banyak orang ketika dia harus melangkahkan kaki untuk sebuah acara duka cita. Menurut saya kenikmatan ini berada antara sebuah kehidupan dan kematian. Dimana ada aura –aura yang memang berbeda dalam lingkungan sekitar rumah duka. Aura itu mengisaratkan seperti sebuah ujung atau ahir sebuah kehidupan dan dapat dirasakan kepada para pengunjung yang peka.
Dan kenikmatan batiniah itu juga mengisaratkan bahwa, ini sebuah tabungan buat para pelayat bahwa suatu saat nanti semua pelayat itu juga akan mengalami kematian, bahkan para pelayat yang gantian menggunjunginya adalah sanak saudara atau sahabat-sahabat orang-orang yang pernah kita datangi dalam kedukaan sebelumnya.

Sebuah kedukaan yang memang tidak pernah diharapkan oleh siapapun tapi pasti akan terjadi pada siapapun dan kapanpun. Tradisi serupa pasti juga akan terjadi dirumah duka, ketika pihak-pihak yang berduka pasti menjelaskan kronologis kedukaanya dan begitu juga pihak-pihak pelayat akan memberikan semangat dan support untuk tetap tabah dan iklas.
Maka jadilah pihak-pihak yg mampu berempati terhadap kedukaan sesama, mudah-mudahan dengan bekal keilmuan dan rasa empati membuat hidup ini sedikit lebih bermakna. Trimakasi (WD)