Tuesday 25 October 2011

PENGEMIS DAN SEDEKAH


Dongkol rasanya saat itu, ketika mobilku tepat berhenti sebuah dilampu merah dan ada seorang anak perempuan kira-kira umur 12 tahun dengan menggendong anak balita. Anak itu dengan muka memelas menegadahkan tanganya untuk meminta-minta. Pada awalnya aku iklas untuk memberi, tapi kedongkolanku memuncak tatkala setelah kuberikan recehan itu dengan tanpa terimakasih malah mengumpat sambil berlalu dengan mengucap “Astagfirulahalazim…pelit amat “. Memang recehan yang ku berikan tidaklah banyak, dan memang hanya satu2nya koin yg tersisa di mobil senilai 200 rupiah. Apa boleh buat, kutahan saja kedongkolan itu sambil merenung dan berfikir serta ku coba untuk introspeksi diri akan ucapan  anak perempuan itu “ apakah benar aku pelit”.



Terkadang aku ingat PERDA yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, pada pasal 40 huruf c disebutkan setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Bagi yang melanggar pasal tersebut dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.

Kucoba untuk menganalisa PERDA ini dari sisi subyektifitasku khusus hanya untuk para pengemis saja dan apakah memang layak untuk di jalankan. Memang dilain sisi memberi para pengemis sangatlah tidak mendidik, disamping mereka akan menjadi malas, juga akan mengganggu ketertiban umum dan membahayakan keselamatan jiwa mereka sendiri. Disamping itu mengeksploitasi anak balita untuk ikut dalam kegiatan mengemis, sungguh sangat mengganggu perkembangan fisik dan mental balita tersebut. Rasa malas untuk bekerja itulah yang sangat berbahaya dalam pendidikan mentalitas anak bangsa, apalagi ditambah malas berfikir.

Keberadaan para pengemis memang tak luput dari sebuah fenomena kemiskinan yang merajalela. Sehingga tak ada pilihan lain bagi mereka selain hanya menegadahkan tangan sekedar mengharap derma. Pendidikan moral dan mentalitas dari pemimpin negri tak mampu mendidik mereka untuk sekedar menguatkan kepribadian mereka untuk mengurangi mentalitas meminta-minta. Apalagi memang juga tak bisa dipungkiri, rasa kedermawanan untuk member derma kepada para pengemis masih tinggi di negri ini. Itulah dalam ilmu ekonomi yang disebut ada supply ada demand.

Pernah sebuah artikel memuat kehidupan para pengemis yang notabenya berasal dari pinggiran ibu kota. Bahkan mereka bisa dibilang bukan golongan kaum miskin jika dilihat dari penghasilanya. Analisa dan survey Di sebuah perempatan lampu merah yang pernah di muat di surat kabar, mengindikasikan penghasilan mereka berkisar Rp. 60.000 / jam. Dengan perhitungan mereka bekerja selama 10 jam/ hari. Antara lampu merah dan hijau akan bergantian selama 30 detik. Dan dalam 30 detik lampu hijau mereka bisa mendapatkan rata-rata Rp.2000,-/30 detik. Berarti dalam 1 jam bekerja mereka mampu mendapatkan Rp. 60.000,-/jam. Jika mereka bekerja selama 10 jam per hari maka sudah dapat di hitung berapa penghasilan mereka yaitu Rp. 600.000,-/hari. Dan hitunglah berapa pendapatan mereka dalam 1 bulan yaitu Rp. 18.000.000,- / bulan. Benar-benar angka yang fantastik untuk profesi pengemis meskipun angka tersebut pasti tidak mutlak selalu, paling tidak Rp.10.000.000,-/bulan pun sudah membuat mereka masuk dalam golongan orang menengah. Namun apakah profesi mereka itu benar-benar bisa disebut sebuah pekerjaan, tentu saja bukan, mereka hanya peminta-minta. Tapi melihat banyaknya omset yang mereka dapatkan, maka berduyun-duyunlah para kalangan peminta-minta itu untuk menekuni “profesi” tersebut. Bahkan mereka terorganisir dan ada yang merekrutnya, melatihnya dan mengantar serta menjemput di lokasi kerja.

Jika dilihat dari sudut keagamaan, tentu harta yang didapat dari mengemis atau meminta-minta itu adalah tidak berkah. Sedangkan dalam setiap agama juga diajarkan untuk besedekah. Tetapi apakah pengemis itu memilih untuk jadi pengemis, jika mereka memang mampu untuk tidak mengemis. Tak ada yang mau untuk menjadi pengemis. Mereka mengemis karena faktor ekonomi dan kemiskinan yang menghimpit serta ketidakberdayaan mereka dalam bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan siapa yang paling bertanggungjawab untuk ketidakberdayaan mereka dalam mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang layak…?  Pasal 34 UUD 1945 sudah sangat jelas siapa yang bertanggungjawab “  Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Ya….mereka memang dipelihara oleh Negara, dipelihara agar tetap menjadi fakir miskin dan tetap terlantar.

Memberikan derma kepada para pengemispun bagi kita sebenarnya sungguh tidak mendidik mereka, bahkan malah semakin memiskinkan mereka, yaitu memiskinkan mental dan moral mereka. Kementrian sosial yang selama ini harus mengurus mereka juga sepertinya kurang bisa diandalkan. Mungkinkan sebuah sangsi yang tegas dan keras harus di terapkan kepada para gelandangan dan pengemis itu, tentu ini sebuah ironi. Gelandangan dan pengemis dikejar-kejar tapi para koruptor dibiarkan. Memang sebuah ketidakadilan terjadi di negri ini.

Lalu bagaimana menyikapinya…? Memang tidak mudah dan butuh kearifan serta kerja keras untuk memupus mentalitas meminta-minta atau mengemis. Intinya adalah niat dan keseriusan dari pemimpin negri ini untuk memberikan pendidikan moral dan mental yang kuat sebagai dasar dari sebuah kehidupan. kalo memang pemimpin negri ini tidak mampu untuk melaksanaan pasal 34 UUD 1945, maka biarlah masyarakat sendiri yang bergerak. Saat ini  banyak juga perusahaan-perusahaan suasta yang melakukan kegiatan sosial melalui CSR ( Corporate Social Resposible ) nya. Ini menandakan memang ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasinya dan melempar tanggungjawab mereka menjadi tanggungjawab bersama dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk melakukan CSR. Tapi biarlah toh pemerintah masih ada usaha meski menekan pihak lain untuk melakukanya. Bagiku sendiri sebagai awam melihatnya dengan sudut pandang positif saja. Meski terkadang miris melihatnya tapi yang penting ada usaha lah.

Namun sampai kapan ini akan terjadi seperti ini..? gelandangan dan pengemis tetap merajalela dan bertambah. Potret sebuah Negara besar seperti Indonesia yang katanya kaya raya. Hmmm miris jadi teringat lagunya Bang Haji “ Yang kaya makin  kaya, yang miskin makin miskin”. Trimaksih.(WINDTRA)   

No comments:

Post a Comment